Dalam lingkungan
Akademik yang dipenuhi tenggat waktu, tugas rutin, dan sasaran pencapaian, penundaan (procrastination)
adalah sesuatu yang dibenci namun sering terjadi. Penundaan pengerjaan
tugas sampai detik-detik terakhir sering kali diikuti hasil kerja kurang
optimal yang menimbulkan kekesalan pemberi tugas dan penyesalan si pelaku. Tak ayal lagi, penundaan adalah masalah
penting yang makin genting untuk dituntaskan.
Penundaan sering
kali dilihat sebagai masalah pribadi pelaku. Pelaku (si penunda) secara sadar
ataupun tidak telah di label dan melabel diri sebagai pesakitan . label yang
sering dilekatkan, antara lain pemalas, impulsive, atau bahkan ADHD/GPPH (attention Deficit and Hyperactive/Gangguan
Pemusatan Perhatian dan
hiperaktivitas).
Salah
satu tugas akademik yang menjadi ajang penunda-nundaan adalah skripsi. Tidak
semua mahasiswa mampu menyelesaikan skripsi tepat waktu. Pengamatan selama 15
semester (2002-2007) terhadap 1502 wisudawan di sebuahperguruan tinggi swasta
di Jawa Timur menunjukkan bahwa 938 wisudawan (59,3%) menyelsaikan skripsi pada
bulan terkhir pendaftaran wisuda. Untuk periode wisuda antara 2000-2003, tak
kurang dari 83% wisudawan terlambat menyelsaikan skripsi (lebih dari dua semester).
Mahasiswa yang tepat waktu berjumlah sekitar 13% (dua semester), dan hanya 4%
yang mampu menyelsaikan skripsi tepat waktu.
Keterlambatan
penyelesaian tugas akhir dapat ditemui mulai tingkat sarjana sampai dengan
pascasarjana (Carden, Bryant, & Moss, 2004; Pfisfet, 2002; Rawlins,1995,
Rothblum, Solomon, & Murakami, 1986; Saddler, 1994). Keterlambatan
penyelesaian tugas akhir tidak mengenal etnis (Jeffrey & Oliver, 1995)
maupun lokasi dan batas Negara (Amerika-Braunstein, 2004; Muszynski &
Akamatsu, 1991; Indonesia-Akbar,2006; Israel-Mlgram & Naaman, 1996;
Korea-Lee,2005 dan Malaysia-Yakub, 2000). Hal ini merupakan masalah bersama
yang dapat ditemukan pada Perguruan Tinggi/PT unggulan ataupun tidak (Ferrari,
Wolfe, Wesley Schoff, & Beck, 1995).
Penunda-nundaan
dapat berakibat sangat fatal, misalnya kegagalan memperoleh gelar kesarjanaan
(Dominguez, 2006; Good, 2002; Steel, 2007). Dari segi materril, pada tingkat
nasional, untuk tiap semester keterlambatan penyelesaian kuliah, terjadi
penambahan biaya sampai triulan rupiah. Angka tersebut adalah hasil simulasi
biaya pendidikan dan biaya hidup mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi
nasional. Secara nir-materiil, penundaan sering kali diiukuti perasaan
bersalah, marah, dan tidak berguna (Onwuegbuzie, 2004), sarjana yang terlambat
lulus sering mengalami gangguan karier, konflik peran, kecemasan, kepercayaan
diri dan relasi social (Ferrari, Parker & Ware, 1992; Mcllveen, George,
Voss, & Laguardia, 2006; Pychyl, Morin, & Salmon, 2000; Senecel,
Julien, & Guay, 2003).
Keterlambatan
kelulusan mahasiswa juga sangat merugikan lembaga Perguruan Tinggi Dari sisi
sumber daya manusia, masalah ini berdampak pada penumpukan tuntutan kerja serta
bebean psikologis dosen ( Cone & Foster, 1993). Dari sisi kredibilitas lembaga,
kesulitan penyelsaian skripsi rentan disertai dengan ketidakjujuran akademik
(Roig & DeTommaso, 1995) dari “jasa pembuatan skripsi” sampai dengan “jual
beli gelar”, yang tentu saja merugikan nama baik PT ( Pattisina, Febriane,
& Ivvaty, 2005; Suara Pembaruan, 2006,; TEMPO interaktif, 2005; Uman,
2005).
Penanganan
penundaan sebenarnya telah sering diutpayayakan, namun hasilnya masih jauh dari
harapan. Beberapa ahli psikologi dan pendamping akademik di Amerika Utara dan
Eropa telah merancang serangkaian metode konseling untuk mengatasi penundaan
akademik. Schouwenburg, Lay, Pychyl, dan Ferrari (2004) telah mengumpulkan,
menyarikan, dan mengkritik berbagai upaya tersebut dalam sebuah antologi yang
diterbitkan oleh Amerika Psychologicsl
Association/ APA. Dilaporkan adanya sejumlah kemiripan sekaligus keunikan
yang bersumber dari variasi pemahaman terhadap hakikat penundaan.
Untuk
memperoleh hasil optimal, penanganan tidak dapat hanya dilakukan dengan
pendekatan pribadi (mikro), melainkan juga pendekatan kelompok dan organisasi
(makro; Prawitasari, 2003; 2010). Penerapan psikologi untuk mengakselerasi
penyelesaian skripsi tidak mungkin hanya di dasarkan pada penanganan kasus per
kasus, namun juga harus merambah tingkat kebijakan lembaga, misalnya perombakan
kurikulum atas pembentukan divisi khusus urusan skripsi . penanganan tingkat
mikro menuntut biaya yang sangat besar dari segi financial, waktu dan sumber
daya insane. Hal ini disebabkan oleh
tingginya keunikan kebutuhan masing-masing mahasiswa. Penanganan pada tingkat
makro sering kali lebih optimal dan berkelanjutan. Akibatny, ketika
dirata-rata, biaya yang dikeluarkan per mahasiswa dapat lebih murah, sehingga
menjadi lebih ekonomis.
Tulisan
ini dirancang untuk memaparkan suatu rancangan metode penanganan
penunda-nundaan akademik pada tingkat akademik mikro dan makro yang dapat
memberikan hasil bermakna, ( baik secara statistic maupun klinis) dan bertahan
lama. Rekomendasi yang disampaikan dibangun di atas hasil kajian teoritis
sekaligus hasil penelitian empiris. Sekali pun area penunda-nundaan yang
diperhatikan adalah dunia akademik, metode penanganan yang disarankan dapat
juga di gunakan pada area kehidupan lain.****
*** Bersambung
SUMBER:
Prawitasari
Johana E (2012), Psikologi Terapan Melintas Batas Disiplin Ilmu, Jakarta:
Erlangga