Sunday, 23 February 2014

AKSELARASI PENYELESAIAN SKRIPSI

Dalam lingkungan Akademik yang dipenuhi tenggat waktu, tugas rutin, dan sasaran pencapaian, penundaan (procrastination) adalah sesuatu yang dibenci namun sering terjadi. Penundaan pengerjaan tugas sampai detik-detik terakhir sering kali diikuti hasil kerja kurang optimal yang menimbulkan kekesalan pemberi tugas dan penyesalan si pelaku.  Tak ayal lagi, penundaan adalah masalah penting yang makin genting untuk dituntaskan.
Penundaan sering kali dilihat sebagai masalah pribadi pelaku. Pelaku (si penunda) secara sadar ataupun tidak telah di label dan melabel diri sebagai pesakitan . label yang sering dilekatkan, antara lain pemalas, impulsive, atau bahkan ADHD/GPPH (attention Deficit and Hyperactive/Gangguan Pemusatan Perhatian dan hiperaktivitas).
                Salah satu tugas akademik yang menjadi ajang penunda-nundaan adalah skripsi. Tidak semua mahasiswa mampu menyelesaikan skripsi tepat waktu. Pengamatan selama 15 semester (2002-2007) terhadap 1502 wisudawan di sebuahperguruan tinggi swasta di Jawa Timur menunjukkan bahwa 938 wisudawan (59,3%) menyelsaikan skripsi pada bulan terkhir pendaftaran wisuda. Untuk periode wisuda antara 2000-2003, tak kurang dari 83% wisudawan terlambat menyelsaikan skripsi (lebih dari dua semester). Mahasiswa yang tepat waktu berjumlah sekitar 13% (dua semester), dan hanya 4% yang mampu menyelsaikan skripsi tepat waktu.
                Keterlambatan penyelesaian tugas akhir dapat ditemui mulai tingkat sarjana sampai dengan pascasarjana (Carden, Bryant, & Moss, 2004; Pfisfet, 2002; Rawlins,1995, Rothblum, Solomon, & Murakami, 1986; Saddler, 1994). Keterlambatan penyelesaian tugas akhir tidak mengenal etnis (Jeffrey & Oliver, 1995) maupun lokasi dan batas Negara (Amerika-Braunstein, 2004; Muszynski & Akamatsu, 1991; Indonesia-Akbar,2006; Israel-Mlgram & Naaman, 1996; Korea-Lee,2005 dan Malaysia-Yakub, 2000). Hal ini merupakan masalah bersama yang dapat ditemukan pada Perguruan Tinggi/PT unggulan ataupun tidak (Ferrari, Wolfe, Wesley Schoff, & Beck, 1995).
                Penunda-nundaan dapat berakibat sangat fatal, misalnya kegagalan memperoleh gelar kesarjanaan (Dominguez, 2006; Good, 2002; Steel, 2007). Dari segi materril, pada tingkat nasional, untuk tiap semester keterlambatan penyelesaian kuliah, terjadi penambahan biaya sampai triulan rupiah. Angka tersebut adalah hasil simulasi biaya pendidikan dan biaya hidup mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi nasional. Secara nir-materiil, penundaan sering kali diiukuti perasaan bersalah, marah, dan tidak berguna (Onwuegbuzie, 2004), sarjana yang terlambat lulus sering mengalami gangguan karier, konflik peran, kecemasan, kepercayaan diri dan relasi social (Ferrari, Parker & Ware, 1992; Mcllveen, George, Voss, & Laguardia, 2006; Pychyl, Morin, & Salmon, 2000; Senecel, Julien, & Guay, 2003).
Keterlambatan kelulusan mahasiswa juga sangat merugikan lembaga Perguruan Tinggi Dari sisi sumber daya manusia, masalah ini berdampak pada penumpukan tuntutan kerja serta bebean psikologis dosen ( Cone & Foster, 1993). Dari sisi kredibilitas lembaga, kesulitan penyelsaian skripsi rentan disertai dengan ketidakjujuran akademik (Roig & DeTommaso, 1995) dari “jasa pembuatan skripsi” sampai dengan “jual beli gelar”, yang tentu saja merugikan nama baik PT ( Pattisina, Febriane, & Ivvaty, 2005; Suara Pembaruan, 2006,; TEMPO interaktif, 2005; Uman, 2005).
                Penanganan penundaan sebenarnya telah sering diutpayayakan, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Beberapa ahli psikologi dan pendamping akademik di Amerika Utara dan Eropa telah merancang serangkaian metode konseling untuk mengatasi penundaan akademik. Schouwenburg, Lay, Pychyl, dan Ferrari (2004) telah mengumpulkan, menyarikan, dan mengkritik berbagai upaya tersebut dalam sebuah antologi yang diterbitkan oleh Amerika Psychologicsl Association/ APA. Dilaporkan adanya sejumlah kemiripan sekaligus keunikan yang bersumber dari variasi pemahaman terhadap hakikat penundaan.
                Untuk memperoleh hasil optimal, penanganan tidak dapat hanya dilakukan dengan pendekatan pribadi (mikro), melainkan juga pendekatan kelompok dan organisasi (makro; Prawitasari, 2003; 2010). Penerapan psikologi untuk mengakselerasi penyelesaian skripsi tidak mungkin hanya di dasarkan pada penanganan kasus per kasus, namun juga harus merambah tingkat kebijakan lembaga, misalnya perombakan kurikulum atas pembentukan divisi khusus urusan skripsi . penanganan tingkat mikro menuntut biaya yang sangat besar dari segi financial, waktu dan sumber daya insane. Hal ini disebabkan  oleh tingginya keunikan kebutuhan masing-masing mahasiswa. Penanganan pada tingkat makro sering kali lebih optimal dan berkelanjutan. Akibatny, ketika dirata-rata, biaya yang dikeluarkan per mahasiswa dapat lebih murah, sehingga menjadi lebih ekonomis.
                Tulisan ini dirancang untuk memaparkan suatu rancangan metode penanganan penunda-nundaan akademik pada tingkat akademik mikro dan makro yang dapat memberikan hasil bermakna, ( baik secara statistic maupun klinis) dan bertahan lama. Rekomendasi yang disampaikan dibangun di atas hasil kajian teoritis sekaligus hasil penelitian empiris. Sekali pun area penunda-nundaan yang diperhatikan adalah dunia akademik, metode penanganan yang disarankan dapat juga di gunakan pada area kehidupan lain.****
*** Bersambung
SUMBER:

Prawitasari Johana E (2012), Psikologi Terapan Melintas Batas Disiplin Ilmu, Jakarta: Erlangga