Friday, 3 January 2014

REVIEW FILM “BADIK TITIPAN AYAH”




 Tanggapan saya terhadap film ini yaitu sangat bagus karena mengangkat cerita budaya Makassar, dimana budaya Bugis-Makassar yang masih sangat kental, walaupun dari segi bahasa (logat) masih kurang pas karena dimana sebagian pemerannya bukan berasal dari Makassar Asli melainkan dari Jawa sehingga logatnya yang  membuat  penonton biasa tertawa karena lucu dan masih sangat kasar.
Film Badik Titipan Ayahini bercerita tentang budaya  Bugis-Makassar khususnya budaya Bira, dimana sebuah keluarga karaeng (bangsawan) yang sangat menjunjung tinggi nilai budaya dengan mempertahankan harga dirinya. Pada suatu hari yang tak terduga dan membuat keluarga  Karaeng Tiro (Aspar Paturusi) sangat malu di mata masyarkat karena anak perempuannya Andi Tenri (Tika Bravani) kawin lari dengan Firman (Guntara)anak dari Karaeng Parapa (A. Asrudin Paturu) yang sekaligus musuh dari ayah Tenri.
Tenri terpaksa mengambil jalan pintas bersama Firman dengan kawin lari (silariang) karena dia sudah tahu bahwa walaupun Firman melamarnya maka akan di tolak dari keluarganya karena dendam lama, permasalahan semakin rumit ketika orang tua Tenri sudah mengetahui bahwa ia telah kawin lari, maka dengan cara terpaksa Karaeng Tiro yang sudah tidak kuat lagi dan sudah tua membuatnya untuk menghubungi anak sulungnya yaitu Andi Aso (Reza Rahardian) untuk menyelesaikan masalah tersebut dan di bantu dengan Limpo (Ilham Anwar).
Perasaan Aso bercampur aduk antara marah, pusing dan terharu. Disisi lain Dia harus menyelesaikan Skripsi dan juga mencari adiknya yaitu Tenri. Sebagai anak yang patuh dengan orang tua Aso lebih memilih amanah dari orang tua yaitu Badik (Keris) yang telah titipkan dari Ayahnya. Maka ia pun mencari Firman untuk dibunuh karena dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga besarnya.
Berbagai cara yang dilakukan oleh Aso untuk mencari keberadaan Firman bersama Tenri, mulai dari bantuan warga, keluarga terdekat sampai dengan teman-temannya tapi hasilnya mustahil, tapi tak membuatnya berputus asa begitu saja. Begitupun dengan Karaeng Caya (Widyawati) yang sangat sedih melihat anaknya seperti itu tapi tak menyurutkan niatnya untuk menyuruh Aso mencari adiknya.
Di tengah hiruk-pikuk berita yang sudah tersebar di kalangan masyarakat Bira maka membuat Karaeng Tiro semakin terpukul dan jatuh sakit. Karaeng Tiro tidak dapat menahan emosinya ketika seorang warga bertanya tentang keberadaan Andi Tenri sehingga membuat ia sangat marah dan jengkel, dan pada saat itu keadaanya semakin buruk dan langsung meninggal.
 Tenri sangat bahagia ketika proses persalinannya lancar, begitupun yang dirasakan oleh Firman karena sudah berstatus menjadi seorang ayah, tapi ketika mendengar berita dari Chandra (Edwin Kurniawan) detektif Tenri yang juga teman satu kampus dari Aso maka Tenri pun semakin merasa bersalah dan ia pun mengambil keputusan  untuk harus pulang ke kampung halamannya (Bira) walaupun resiko besar itu harus di tanggungnya karena ia harus mempertaruhkan nyawa dan suaminya karena sudah melanggar adat yaitu kawin lari.
Masyarakat Bira berkabung karena karaeng Tiro meninggal dunia dan pada hari itu pun semua kelurga besar berkumpul. Pada saat Tenri bersama Firman dan anaknya sudah pulang dari Makassar maka Aso dan Limpo yang melihatnya langsung marah dan ingin membunuh mereka berdua dengan menikam Badik tapi amarah Aso mulai redam kerika ibunya menasehati mereka untuk tidak saling dendam. Tapi karena Badik sudah terlanjur keluar dari sarungnya maka Limpo pun menikam pahanya sebagai pertanda bahwa harus ada darah yang tertumpah pada hari itu juga.
Sebagai ibu yang bertanggung jawab maka Karaeng Caya pun tegar menghadapi kematian suaminya karaeng Tiro dan mempersatukan kembali keluarga mereka yang sudah retak, karena baginya keluarga adalah segalanya.
Pesan yang ingin disampaikan pada film ini yaitu kawin lari (silariang) itu sangat di benci oleh warga Makassar walaupun pada akhirnya akan disetujui tapi image dari keluarga itu sudah luntur di mata masyarakatkarena sudah melanggar adat yang resikonya sangat berat
Dari film Badik Titipan Ayah ini hal yang paling menarik adalah ketika keberadaan Tenri dan Firman sudah di ketahui oleh Aso dan Limpo karena meraka saling kejar-mengejar dan di tengah pengejaran oleh Aso dan Limpo dengan mengendarai motor maka pada saat lampu merah mereka disapa oleh perempuan paruh bayah yang genit di atas mobil kendaraan umum. Padahal Firman dan Tenri ada di dalam mobil tersebut hanya mereka bersembunyi dengan cara menunduk. Maka Aso dan limpo yang tidak tahan dan geli dengan godaan wanita paruh bayah tersebut mereka langsung kabur dan mereka pun gagal menemukan Tenri. 

N.B: Tugas ini berkaitan dengan Psikologi Lintas Budaya, Dimana review film ini di komentari berdasarkan dengan masing-masing asal daerah dan penulis sendiri berasal dari Kabupaten Bantaeng, yang letaknya kurang lebih 140 Km dari Kota Makassar.

SALAM SUKSEEEEEESSSS BAGI PENGUNJUNG YANG SEMPAT MEMBACA TULISAN INI :-)

4 comments:

Unknown said...

Nice (y) kuliahnya dimana kak?

blog said...

Mw nanya nama badik yg bnar ilasandrego atau bilasandrego ? Tlong jwbmx

Mukhtamar Hayat said...

i la sanrego yg di ceritakan merupakan badik bertuah dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Unknown said...

Kebetulan saya juga dapat tugas mengkaji film ini dari matakuliah Estetika. Karena kebetulan dosen saya dari solo, dan tidak tahu menahu tentang org bugis-makassar. jadi saya tertarik mngangkat film ini untuk dikaji setidaknya dapat menambah pengalaman untuk dosen saya.
terima kasih untuk infonya,,
salam kenal, saya dari Institut Seni Budaya Indonesia Jurusan TV & Film.

Terima Kasih untuk referensinya :)

Post a Comment